Subak Sebagai Warisan Budaya Indonesia

Kelompok 1 :

1. Ni Wayan Eka Noviyanti (20103018)

2. Anak Agung Gede Indrastata Pemayun (20104092)

3. Ni Kadek Ayu Sulistiawati (20103251)

4. Dhita Nuraisyah (20103240)

5. Ni Komang Indah Candrika Riani (20103308)

PENDAHULUAN

Subak merupakan organisasi yang berisikan kumpulan petani pengelola air irigasi dalam Kawasan-kawasan tertentu yang batasnya alamiah. Subak harus memiliki sumber air dan pura yang disebut dengan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul.

Subak merupakan cerminan dari Tri Hita Karana. Filosofi Tri Hita Karana mengajarkan bahwa manusia dapat hidup dengan damai dan bahagia. Konsep dari Tri Hita Karana terdiri dari Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan) di implementasikan dengan adanya Pura serta ritual untuk subak, Pawongan (hubungan manusia dengan manusia) di implementasikan dengan hubungan antar petani di subak, dan Palemahan (hubungan manusia dengan alam) di implementasikan dengan kepemilikan lahan di setiap subak serta pengelolaan saluran irigasi untuk subak. Subak terdiri dari dua jenis yaitu subak dan subak abian. Subak menggunakan lahan basah dan biasanya ditanami padi sedangkan subak abian menggunakan lahan kering biasanya ditanami palawija atau digunakan oleh para petani untuk tempat ternak. 

FUNGSI DAN KENDALA SUBAK

A. Fungsi Subak

  1. Mendistribusikan sawah irigasi.
  2. Memelihara saluran irigasi.
  3. Mengelola sumber daya.
  4. Menangani konflik antar petani dengan diterapkannya awig-awig.
  5. Fungsi ritual.
       B. Kendala Subak

  1.       Persoalan air atau kekuarangan air.
  2.       Kurangnya minat generasi muda yang ingin menjadi petani.
  3.       Kuantitas dan kualitas air irigasi.
  4.       Kompetisi untuk memperebutkan air di antara petani.
  5.       Serangan hama dan penyakit.
  6.       Ketidakpastian harga gabah.
  7.       Keterbatasan teknologi.
  8.       Keterbatasan akses informasi.
  9.       Alih fungsi lahan.
  10.       Keterbatasan akses sumber pembiayaan.

          
      SEJARAH SUBAK

    Sebuah kata “huma” berasal dari bahasa Bali kuna. Budiastera (1987) menyatakan bahwa masa Bali kuna berlalu setelah masuknya pengaruh Jawa kuna pada tahun Caka 911, yaitu ketika Raja Udayana yang kawin dengan Guna Prya memerintah di Bali. Dalam prasasti Batuan 352 yang dibuat pada tahun Caka 944 atau tahun 1023 Masehi telah memunculkan kata sawah.

     Kata sawah juga tercantum pada prasasti Tengkulak yang dibuat pada tahun Caka 945 atau dalam masa kerajaan Sri Dharma Wangsa yang memerintah di Bali pada tahun 1022 -1048 Masehi. Pada masa ini diduga system pengairan telah diatur dengan baik dengan asas kebersamaan dan keadilan. Ada uraian yang menyatakan : semua penduduk desa diijinkan memperluas wilayah, membuat kali, memperluas tanah miliknya, membuat saluran-saluran air, termasuk menjaga agar tanahnya tidak longsor. Prasasti Tengkulak ini juga dapat dipakai sebagai bukti kuat bahwa yang dimaksud sawah pada masa itu adalah sawah seperti dalam pengertiannya saat ini, yaitu lahan yang memperoleh air irigasi dari suatu sumber air yang pemberian airnya diatur sedemikian rupa sehinga tanaman padi atau tanaman lain yang merupakan sumber bahan makanan dapat tumbuh dengan baik. Disebutkan pula bahwa ada kegiatan-kegiatan seperti : membajak, menanam, menyiang, mengetam, dan menjemur. Kegiatan ini tidak lain adalah keterlibatan manusia dalam membudidayakan tanaman padi di sawah, dimaksudkan agar tanaman yang ditanam dapat tumbuh dengan baik dan hasil yang diperolehpun juga baik. Dalam sebuah prasasti Batuan yang dibuat pada tahun Caka 944 telah pula menguraikan tentang pengaturan tanah-tanah terlantar dan pengaturan upacara-upacara keagamaan. Ini berarti bahwa pada masa itu hubungan sawah dengan para petani dan keyakinan dalam agama atau kepercayaan yang dianut telah ada dan bahkan telah dibakukan untuk diatur dalam sebuah prasasti. Pada masa itu usaha perluasan sawah dengan cara perebasan hutan telah pula terjadi. Dalam prasasti disebutkan tanah (hutan) milik raja dan tanah milik perorangan yang ditelantarkan dengan terlebih dahulu direbas hutannya, dibersihkan dari segala semak dan sisa-sisa tanaman akhirnya menjadi sawah. Sawah ini secara resmi memperoleh pembagian air dari pekasehan dengan ukuran pembagian air juga telah ditetapkan, disebut dengan istilah “Kilan”. Kilan adalah satuan pembagian air saat itu atau ukuran ambang pintu air yang dibuat dari kayu dengan bentuk lebar ambang satu jengkal tangan orang dewasa dengan tinggi berkisar antara 8 – 10 cm.

    Berbagai  cara pengaturan air untuk sawah selanjutnya tercantum dalam banyak prasasti di Bali, mencerminkan bahwa pada masa itu penduduk Bali kebanyakan mata pencahariannya dari kegiatan pertanian di lahan basah (sawah). Kata subak berasal dari kata “suwak” sedangkan wilayah subak pada masa lalu disebut “kasuwakan”. Kata “kasuwakan” ini tertulis pada prasasti : (1). Pandak Bandung yang dibuat oleh Raja Anak Wungsu pada tahun 1071 Masehi, (2). Banjar Celepik-Tojan Klungkung yang dibuat tahun Caka 994 atau tahun 1072 Masehi, (3). Pengotan Bangli, yang dibuat tahun Caka 846, dan (4). Bwahan Kintamani Bangli yang dibuat pada tahun Caka 916.

     Dalam prasasti Pandak Bandung jelas disebutkan para petani di kesubakan Telaga pada saat itu,yaitu abad XI, pada setiap bulan ketiga dan kesembilan memulai bersiap-siap untuk mengerjakan sawah dengan terlebih dahulu membuat tiga buah empangan (“tembuku”) (Purwitha, 1986).Dalam prasasti Banjar Celepik-Tojan secara jelas diuraikan bahwa pada hari-hari tertentu sejumlah penduduk (petani) menghadap Raja Anak Wungsu untuk menyampaikan kehendaknya untuk mengerjakan sawah yang terletak di subak Rawas. Diuraikan pula secara rinci berbagai hal seperti : pengaturan pajak yang harus dibayar, penetapan batas-batas subak, luas areal subak, termasuk penetapan sawah-sawah untuk dijadikan “pelaba pura”. Sawah yang dijadikan “pelaba” sepertiga hasilnya diserahkan kepada Raja sedangkan dua pertiga sisanya diserahkan kepada pengurus subak untuk kemudian dipakai menyelenggarakan ritual keagamaan di subak ( Refrensi : Artha I.N (2006). Struktur Organisasi Sistem Subak di Bali).

      ALASAN SUBAK DIJADIKAN WARISAN BUDAYA

     Alasan ditetapkannya sistem subak sebagai sebuah warisan budaya dunia adalah bahwa terdapat sejarah yang begitu besar dalam sistem tersebut. Sebagaimana yang diketahui bahwa subak telah ada sejak abda ke 11, dan bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa subak telah ada jauh sebelum abad ke 11. Dan sejak saat itu, masyarakat Bali telah mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana dalam sistem subak tersebut. Nilai sejarah yang begitu kaya tersebut membuktikan bahwa Sistem Subak Bali merupakan sebuah sistem pengelolaan pengairan yang sudah sangat tua apabila dihitung secara usia. Tentu, semakin tua suatu kebudayaan maka akan semakin besar nilai sejarah yang terkandung. Apabila dilihat perjalanan pengelolaan subak di Bali, maka bertahannya subak Bali hingga saat ini merupakan bukti bahwa masyarakat Bali begitu baik dalam menjaga keberadaan sistem subak tersebut.

    UNESCO melihat begitu pentingnya nilai sejarah yang terkandung dalam sistem subak Bali. Bahwa, dengan sejarah yang begitu kaya tersebut, UNESCO merasa perlu untuk mempertahankan keberadaannya. UNESCO merasa pentingnya perlindungan, pelestarian, dan pengembangan dari sistem subak agar tetap terjaga dan tidak mengalami kepunahan. Sebagai sebuah kebudayaan yang dianggap sangat penting dalam masyarakat Bali, maka tidak ada alasan bagi UNESCO untuk tidak mengakui sistem subak Bali sebagai sebuah warisan budaya dunia. 

    (Referensi :http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/25860/8.%20BAB%20IV.pdf?sequence=8&isAllowed=y)


      KESIMPULAN

    Subak merupakan organisasi yang berisikan kumpulan petani pengelola air irigasi dalam Kawasan-kawasan tertentu yang batasnya alamiah. Subak merupakan cerminan dari Tri Hita Karana. Filosofi Tri Hita Karana mengajarkan bahwa manusia dapat hidup dengan damai dan bahagia. Setiap subak pasti memiliki fungsi yaitu  mendistribusikan sawah irigasi, memelihara saluran irigasi, mengelola sumber daya, menangani konflik antar petani dengan diterapkannya awig-awig, fungsi ritual.  Subak tercantum pada prasasti Tengkulak yang dibuat pada tahun Caka 945 atau dalam masa kerajaan Sri Dharma Wangsa yang memerintah di Bali pada tahun 1022 -1048 Masehi. Bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa subak telah ada jauh sebelum abad ke 11.UNESCO melihat begitu pentingnya nilai sejarah yang terkandung dalam sistem subak Bali. Bahwa, dengan sejarah yang begitu kaya tersebut, UNESCO merasa perlu untuk mempertahankan keberadaannya.
       


Komentar